Membela Warga, Saya ‘Dipencundangi’

Berdasarkan dari pengalaman saya, pada tahun 1996 yang lalu. Pada saat itu saya masih bertugas di Kabupaten Tabalong disalah satu media harian namanya waktu itu Harian Dinamika Berita (sekarang berubah nama menjadi Harian Kalimantan Post). Waktu itu saya mengupas kasus ganti rugi tanah masyarakat di desa Lambida Atas Desa Dahai Kalimantan Selatan -- oleh satu perusahaan Batu Bara yang saya nilai terlalu tidak ber-prikemanusiaan.
Kenapa jadi saya katakan tidak ber-prikemanusiaan?...karena demi kepentingan perusahaan batubara tersebut, Pemerintah melalui Timnya yang terdiri dari unsur Muspida, justru membela kepentingan perusahaan ketimbang kepentingan masyarakat disana. Coba anda pikirkan, masyarakat dipaksa untuk menyetujui tanahnya dibeli dengan harga Rp.50,-per meter. Sementara diatas tanah tersebut berdiri kebun-kebun karet dan sawah mereka, walaupun tanaman tersebut juga diganti rugi, tetapi harganya sangat tidak pantas. Satu pohon karet yang setiap hari mereka sadap hanya dihargai Rp. 5000 sampai Rp.10.000,- saja. Apa itu namanya membela masyarakat..?? lhaa.. pasti tidak kan.!!
Pada saat itu saya satu-satunya wartawan yang ada disana, maklum saat jaman orde baru sangat sedikit orang mau jadi wartawan, jadi kalau ukuran kabupaten punya wartawan satu orang sudah hebat. Setelah mendapat bahan masukan, data lapangan dan informasi dari masyarakat desa tersebut, sayapun membuat berita tentang kemiringan dan ketidakadilan itu dengan sebuah berita awal.
Berita pertama saya pada bulan Agustus tahun 1996 itu membuat geger para petinggi perusahaan dan pejabat-pejabat disana. Ternyata berita itu membuka mata semua orang bahwa masih banyak warga masyarakat yang nasibnya tertindas hanya kerena kepentingan perusahaan, oknum pejabat dan para ‘anjing-anjing’ perusahaan yang menindas dan menistakan rakyatnya sendiri.
Berbagai macam cara dilakukan agar saya tutup mulut. Salah satunya dengan upaya menyuap atau memberikan sejumlah uang, dengan kesepakatan semua berita-berita menyangkut kasus ganti rugi tanah itu tidak dilanjutkan lagi.
Terus terang saya juga manusia, kalau diiming-imingi uang yang banyak bisa-bisa tergiur juga, hehehee…
Tetapi, Allah SWT masih sayang sama saya, pada waktu itu saya masih mempunyai iman yang tinggi dan mampu menolak semua tawaran menggiurkan, karena yang ada dibenak saya bagaimana nasib warga masyarakat disana yang saat itu lagi diterpa kesengsaraan karena tidak mendapatkan hak mereka dengan adil.
Yang membuat saya miris adalah, seorang janda beranak satu, kira-kira umurnya sekitar 60 tahun lebih. Pendapatan janda itu hanya mengharapkan penghasilan dari menyadap karet ½ hektar kebun karet peninggalan suaminya. Karena ia bersama warga lainnya tetap kukuh tidak mau menjual tanah kebun tersebut kepada perusahaan, akhirnya ia harus menerima kenyataan pahit yang sulit untuk dilupakannya.
Seperti biasanya, ibu janda ini setiap jam.05.00 dini hari sudah berangkat ke kebun untuk menyadap karet. Dengan membawa bekal seadanya ia berangkat dari rumahnya, sedangkan cucunya yang berumur 12 tahun masih tidur. Kegiatan ini nampaknya sudah menjadi kebiasaan hari-hari ibu janda ini, mungkin cucunya sudah terbiasa dengan rutinitas seperti itu. Sedangkan kedua oranga tuanya sudah lama meninggalkannya bersama dengan neneknya.
Ketika sampai dikebun karet miliknya, matanya hanya bisa melotot dan mulutnya ternganga. Karena, pemandangan yang ia saksikan tidak pernah terbersit dipikirannya, bahwa kebun satu-satunya warisan dari suaminya sudah berubah menjadi tanah yang rata, tanpa ada sebatang pohon karetpun disana. Ternyata, dengan gaya ‘tangan besi’ perusahaan sudah menggarap tanah warga disana, walaupun kasusnya belum selesai.
Hanya isak tangis yang ia bawa pulang kerumahnya, hingga dalam suatu kesempatan saya dipertemukan oleh warga disana dengan ibu janda beranak satu ini.
Janda ini salah satu potret masyarakat yang tertindas yang secara harfiah kita harus membantunya agar mendapatkan hak yang seharusnya ia dapatkan.
Sayapun membuat beberapa artikel/berita di media saya bekerja. Dan alhamdulillah, berita-berita yang saya kirim semuanya termuat. Maka, dapat dibayangkan, gegerlah dunia pada waktu itu….waduuhh kayak mau perang aja yaa..???
Bagi saya sendiri, dengan mengupas kasus besar itu sayapun harus menjadi bulan-bulanan para oknum-oknum pejabat yang merasa ketenangannya terusik.
Disamping mendapat terror, berbagai macam cara mereka lakukan agar saya melepaskan kasus itu, hingga akhirnya oleh pimpinan saya sendiri yang seharusnya pada waktu itu ikut memihak kepada kaum lemah dan rakyat miskin justru memihak kepada perusahaan.
Akhirnya, karena saya tidak mendapat dukungan dari pimpinan saya, otomatis semua berita-berita saya selalu dicekal alias jarang yang masuk ke redaksi. Kalau saya setiap hari mengirim 2-3 berita, yang masuk dalam satu minggu paling-paling 1-2 berita, sedangkan puluhan berita lainnya tidak jelas juntrungnya…(mungkin dimasukkan ke bak sampah kallee..hkhkhk..:(
Memasuki tahun 2007, dengan penuh keterpaksaan saya mengundurkan diri di media saya bekerja. Karena, menurut saya, buat apa saya bekerja kalau tidak dihargai pimpinan sendiri. Pimpinan sendiri yang seharusnya pada saat itu membela bawahannya dan membela kepentingan masyarakat luas seharusnya wajib untuk membantu mereka bukan sebaliknya ikut menikmati penistaan tersebut….bla..blaa..blaaa…..benar enggak saudara???
Ini adalah pengalaman terpahit saya selama menjadi wartawan…dan mudah-mudahan saya tidak akan menjadi pemimpin seperti itu…amiinn.
Oke…kira-kira cukup dulu sampai disini dulu posting kali ini..kita akan bahas posting berikutnya nanti…salam.



Submit Post To: | Digg | Technorati | del.icio.us | Stumbleupon | Reddit | BlinkList | Furl | Spurl | Yahoo | Simpy |

Artikel Terkait: