Asyik Jadi Loper Koran

Kalau kehidupan pribadi dibahas terus malu juga yaa…… Maksud saya bukan untuk mempublikasikan kelebihan atau kelemahan saya, tetapi paling tidak ini bisa menjadi masukan dan pelajaran bagi kawan2 dan generasi setelah saya nanti. Bahwa, untuk maju dan berkembang memang baiknya dari bawah dulu…tapi kalau memang mampu tidak usah jadi loper juga tidak apa-apa …hehehee… Pada tahun 1990 yang lalu, saya ditugaskan di Kabupaten Tabalong Kalimantan Selatan. Waktu itu yang jadi wartawan hanya saya seorang…dulu pekerjaan wartawan tidak ada yang suka..karena sangat berisiko dan berbahaya..apalagi waktu itu jaman orde baru…salah sedikit saja membuat berita langsung di bui, diculik atau dipukuli…(ngeri yaa..tapi itu tempo dulu…). Disamping melakukan peliputan didaerah tersebut, secara bisnis perusahaan penerbitan juga mengharuskan saya untuk mendongkrak penjualan koran didaerah tersebut, hal ini juga akan memberikan penghasilan tambahan, karena waktu itu saya masih belum mendapat gaji dari kantor tetapi hanya honor per berita.. Waktu itu honor berita bervariasi, dari kelas A, B dan C. Harga honor untuk kelas A sebesar Rp.3500, B Rp.2000 dan C Rp.1500,- Jadi untuk menunjang penghidupan saya, terpaksa saya harus mencari honor lain yakni fee penjualan koran. Semakin banyak saya bisa memasarkan koran, maka semakin besar juga fee yang saya peroleh…apalagi dari sisa penjualan koran yang tidak laku bisa saya jual kembali dengan harga perkilogram. NGECER DAN NAWARKAN LANGGANAN Yang namanya merintis atau dari nol memang serba susah dan serba berkekurangan. Kesejahteraan wartawan pada waktu itu sangat minim dan hampir-hampir tidak diperhatikan sama sekali. Kalau diperusahaan penerbitan saua waktu itu, bekerja sebagai wartawan seperti anak ayam saja….belum bisa apa-apa sudah dilepas dan dibiarkan untuk hidup mandiri. Semboyannya waktu itu adalah, cari makanlah untuk hidup. Dan jaman itu jangan bercita-cita untuk hidup sejahtera, karena kita ditempatkan pada sebuah tempat aturan yang memang harus kita jalani dan lakoni. Kalau tidak mau berjalan ditempat itu silahkan cari jalan dan tempat lain saja. (waahh..ngeri juga yaa…emang gitu kondisinya…..) Agar bisa hidup, minimal bisa makan sampai malam hari, saya terpaksa merangkap sebagai loper koran. Setelah koran datang dengan cekatan tangan saya sudah menyusun lembaran-lembaran koran itu untuk dibagikan kepada pelanggan. Lucu sih..memang lucu..masa wartawan bisa merangkap menjadi loper koran..?? memang gitu kejadiannya, soalnya kalau saya tidak menjadi loper koran bagaimana saya bisa mencari kelebihan untuk hidup, sementara saya sendiri tidak mendapat gajih tetapi cuma mendapat honor berita yang pembayarannya satu bulan sekali. Setelah habis mengantar koran-koran tersebut, sambil mencari berita dijalan, saya langsung menawarkan koran saya ke rumah-rumah penduduk. Alhamdulillah, karena waktu itu hanya ada 2 media disana, sementara koran saya mendapat tempat dihati masyarakat, saya dalam mengembangkan media yang saya ikuti tidak susah. Dan ini menjadikan pengalaman berarti bagi saya, bahwa untuk sebuah kemajuan tanpa kerja keras hanya sebuah angan-angan atau mimpi. Tetapi, sebuah pekerjaan dikerjakan dengan sungguh-sungguh tentu saja akan membuahkan keberhasilan yang hakiki. Salam, mudah-mudahan tulisan ini bisa menjadi pelajaran bagi kita semua.



Submit Post To: | Digg | Technorati | del.icio.us | Stumbleupon | Reddit | BlinkList | Furl | Spurl | Yahoo | Simpy |

Artikel Terkait: